Thursday, January 29, 2009

KERINCHI

Kabupaten Kerinci adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi. Luas wilayahnya 4.200 km²; dengan populasi 300.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Sungai Penuh.

Nama Kerinci

Nama ‘Kerinci’ berasal dari bahasa Tamil “Kurinci”. Tanah Tamil dapat dibagi menjadi empat kawasan yang dinamakan menurut bunga yang khas untuk masing-masing daerah. Bunga yang khas untuk daerah pegunungan ialah bunga Kurinci (Latin Strobilanthus. Dengan demikian Kurinci juga berarti 'kawasan pegunungan'.
Di zaman dahulu Sumatra dikenal dengan istilah Swarnadwipa atau Swarnabhumi (tanah atau pulau emas). Kala itu Kerinci, Lebong dan Minangkabau menjadi wilayah penghasil emas utama di Indonesia (walaupun kebanyakan sumber emas terdapat di luar Kabupaten Kerinci di daerah Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin). Di daerah Kerinci banyak ditemukan batu-batuan Megalitik dari zaman Perunggu (Bronze Age) dengan pengaruh Budha termasuk keramik Tiongkok. Hal ini menunjukkan wilayah ini telah banyak berhubungan dengan dunia luar.
Awalnya ‘Kerinci’ adalah nama sebuah gunung dan danau (tasik), tetapi kemudian wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan begitu daerahnya disebut sebagai Kerinci (“Kurinchai” atau “Kunchai” atau “Kinchai” dalam bahasa setempat), dan penduduknya pun disebut sebagai orang Kerinci.
Sejarah Kerinci
Menurut Tambo Alam Minangkabau, Daerah Rantau Pesisir Barat (Pasisie Barek) pada masa Kerajaan Alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatra bahagian tengah mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko (Bengkulu) dan Kerinci. Dengan demikian Kerinci merupakan daerah Minangkabau.
Pada waktu Indonesia merdeka, Sumatera bahagian tengah mulai dipecah menjadi 3 provinsi:
1. Sumatera Barat (meliputi daerah Minangkabau)
2. Riau (meliputi wilayah kesultanan Siak, Pelalawan,Rokan,Indragiri, Riau-Lingga ditambah Rantau Minangkabau Kampar dan Kuantan)
3. Jambi (meliputi bekas wilayah kesultanan Jambi ditambah Rantau Minangkabau Kerinci)
Dengan demikian sebenarnya Orang Kerinci hidup dengan budaya Minangkabau namun menjadi orang Jambi.

Letak Kerinci

Kerinci berada di ujung barat Provinsi Jambi, berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau) di sebagian barat dan utara. Di selatan mereka berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Daerah Kerinci ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten sejak awal berdirinya Provinsi Jambi, dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh. Daerah Kerinci memiliki luas 4.200 km2 terdiri atas 11 kecamatan (yang merupakan rangkaian kampung atau pemukimam). Statistik tahun 1996 menunjukkan populasi suku Kerinci sekitar 300.000 jiwa.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kerinci merupakan kawasan yang telah memiliki kekuasaan politik tersendiri.Sebelum Belanda masuk Kerinci mencatat tiga fase sejarahnya yaitu: Periode Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, Periode Depati, dan Periode Depati IV Alam Kerinci. Kerajaan Manjuto, sebuah kerajaan yang berada di antara Kerajaaan Minangkabau dan Kerajaan Jambi, beribukotakan di Pulau Sangkar. Berikutnya, pada dua periode Depati, Pulau Sangkar memainkan peran sentral sebagai salah satu dari empat pusat kekuasaan di Kerinci (Rasyid Yakin, hal. 4 -14).
Tetapi semenjak Belanda mulai menduduki Kerinci pada 1914, peran sentral Pulau Sangkar secara politik pemerintahan mulai mengalami penyusutan. Ketika Belanda menetapkan Kerinci sebagai sebuah afdelling dalam kekuasaaan Karesidenan Jambi (1904) maupun di bawah Karesidenan Sumatera Barat (1921), dan ketika Kerinci menjadi sebuah kabupaten sendiri dalam wilayah Propinsi Jambi (pada 1958), Pulau Sangkar hanyalah sebuah ibukota kemendapoan (sebuah unit pemerintahan setingkat di bawah kecamatan dan setingkat di atas desa).

Kabupaten Kerinci dikenal sebagai Kabupaten yang memiliki panorama yang terindah di Provinsi Jambi yang keindahannya menjadi terkenal dengan keberadaan Gunung Kerinci yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera, Air Terjun Telun Berasap dan Danau Gunung Tujuh di kaki Gunung Kerinci. Keberadaan Taman Nasional Kerinci Seblat yang merupakan paru-paru dunia, dimana hidup bermacam flora dan fauna yang berguna untuk penelitian, Danau Kerinci, Danau Lingkat dan sejumlah peninggalan bersejarah serta banyaknya objek menjadi keindahan Kerinci semakin menarik.
Letak wilayah Kabupaten Kerinci secara geografis adalah di antara 01 41’ sampai 02 26’ lintang selatan dan 101 08’ sampai 101 40’ bujur timur dengan ibu kota Sungai Penuh yang berjarak 418 km dari Kota Jambi.
Kabupaten Kerinci secara administratif dibagi dalam 17 (tujuh belas) Kecamatan dengan berbagai perkembangannya masing-masing, baik karena potensi geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun karena pembangunan prasarana pada masing-masing wilayah.
Sebagai suatu wilayah Kabupaten Kerinci terbentang di atas wilayah seluas 420.000 Ha dan merupakan kabupaten terkecil kedua diantara kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi (± 7,86% dari total Provinsi). Dari wilayah Kerinci keseluruhan, 52 % merupakan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, hanya sekitar 48 % yang merupakan kawasan budidaya atau kurang dari 4% dari seluruh wilayah Provinsi Jambi. Dari luas wilayah 205.000 Ha kawasan budidaya, seluas 41.620 Ha (20,56%) adalah kawasan non pertanian dan seluas 163.380 Ha untuk lahan pertanian. Kabupaten Kerinci adalah wilayah yang subur dengan keterbatasan lahan, harus berupaya menggali potensi alternatif yang dapat digunakan untuk mepercepat proses pembangunan, terutama dengan memanfaatkan potensi alam yang mengandung keindahan dan menarik minat wisatawan untuk berkunjung.

Jumlah penduduk Kabupaten Kerinci per 31 Desember 2006 sebesar 311.354 jiwa, yang terdiri dari 154.227 jiwa penduduk laki-laki dan 157.127 jiwa penduduk perempuan dengan ratio 98 Kepadatan penduduk tahun 2006 sebesar 74 jiwa per km2. Berdasarkan Kerinci Dalam Angka Tahun 2005, penduduk Kabupaten Kerinci berjumlah 308.785 jiwa. Ini berarti pertumbuhan penduduk Kabupaten Kerinci bertambah sebesar 0,83 % pertahun. Sedangkan berdasarkan perhitungan sementara per Desember 2006, jumlah penduduk Kabupaten Kerinci Tahun 2006 mencapai 311.354 jiwa.

Sebagian besar bekerja pada sektor pertanian dan perkebunan. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan menghasilkan beraneka ragam produk seperti, Sayu-sayuran, Palawija Buah-buahan (Alpukat, Pisang, Manggis, Durian, Jeruk, dll). Pertanian pada sawah merupakan hamparan yang paling luas memberi keindahan alam yang mempesona disaat musim panen tiba. Selai itu produk perkebunan seperti Kayu Manis (Cassiavera), Kopi dan Teh merupakan produk dengan kwalitas ekspor. Tujuan Ekspor meliputi Negara Eropa, Amerika, Arab dan Asia Timur. Kondisi pertanian dan perkebunan ini merupakan obyek agrowisata yang menarik khas dataran tinggi Kerinci.

Sebagian dari daerah Kerinci merupakan daerah berhutan lebat yang alami. Didalamnya masih tersimpan kekayaan flora dan fauna yang menarik dan terlindung dengan baik. Beberapa diantaranya adalah binatang langka dan dan jenis tumbuhan endemic khas Kerinci, sehingga kawasan hutan Kerinci ditetapkan menjadi bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hutan yang alami serta flora dan fauna yang terlindungi merupakan atraksi objek Ekowisata yang mengagumkan.

Budaya Kerinci

Budaya Kerinci sangat khas. Tari-tariannya adat merupakan campuran Minang dan Kerinci serta Melayu. Misalnya, Tari Joged Sitinjau Laut. Lagu-lagu Kerinci juga terkenal unik. Pakaian adatnya juga sangat indah. Rumah suku Kerinci disebut "Larik" karena terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang bersambung-sambung. Di Jambi, Kerinci adalah satu-satunya wilayah yang menganut adat Perpatih Minangkabau (Matrilineal).

Sosial Budaya
Penduduk (masyarakat) Kerinci adalah merupakan penduduk asli, artinya masyarakat Kerinci sejak nenek moyangnya telah lama menetap di daerah ini. Keadaan sosial budaya masyarakat Kerinci dicirikan oleh adanya Suku Kerinci, yaitu meupakan turunan suku Melayu Tua yang telah menetap sejak zaman Mezoliticum, serta mempunyai bahasa dan dialek spesifik (Bahasa Kerinci) dengan tulisan Rencong Srik.
Daerah pertanian merupakan enclave yang terluas dalam Kawasan TNKS dan merupakan daerah yang subur dan relatif terisolir. Menyebabkan perkembangan kebudayaan lebih menonjolkan sifat religius (Agamis dengan mayoritas beragama Islam) serta penghormatan pada peninggalan nenek moyang. Hubungan kekerabatan lebih erat dan terikat satu sama lain yaitu terlihat adanya suatu strata masyarakat tuo-tuo tengganai (tokoh masyarakat, Ninik Mamak, kaum kerabat) Alim Ulama, Cerdik Pandai, masyarakat biasa dan golongan orang-orang tua serta golongan orang muda.
Peninggalan budaya merupakan asset budaya, seperti :
- Masjid Keramat di Pulau Tengah
- Masjid Agung di Pondok Tinggi
- Masjid Keramat di Lempur Mudik
- Masjid Kuno di Lempur Tengah
- Pernik Tembikar Rawang di Sungai Penuh
- Tulisan Rencong pada Tanduk di Sungai Penuh
- Batu bersurat di Benik, Muak dan Semurup.
- Makam Pahlawan Perang Depati Parbo di Lolo Kecil.
Di samping peninggalan kebudayaan masih terdapat kegiatan budaya, yaitu pelaksanaan adat istiadat yang secara turun temurun masih berlangsung, baik sendiri-sendiri, berkelompok atau secara resmi maupun tidak resmi.
Kegiatan adat istiadat (kebiasaan) seperti acara perkawinan, khitanan, kematian, turun ke sawah, panen, mendirikan rumah, pengangkatan tokoh masyarakat (Kenduri Sko) serta sifat gotong royong masyarakat sampai saat sekarang masih banyak terdapat di kalangan masyarakat di tiap-tiap desa dan kelurahan di Kabupaten Kerinci. Keadaan ini ditunjang oleh karena daerah Kerinci sudah sejak lama terbuka hubungan dengan daerah luar seperti dari Sumatera Barat serta tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan mobilitas antara penduduk lebih dinamis.(sumber laman web kerincikab.go.id)

Bahasa Kerinci

Bahasa Kerinci termasuk salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan dengan dialek Kerinci. Bagi masyarakat bagian pesisir barat Minangkabau, Bahasa Kerinci tidak begitu asing, namun menjadi agak aneh bagi orang daerah lain di Jambi yang condong ke Melayu Palembang dan Melayu Riau. Salah satu yang khas dari dialek Kerinci di antaranya adalah melafalkan ‘i’ menjadi ‘ai’ misal: ‘Orang Kerinci pergi ke Jambi’ diucapkan ‘Uhang Kinchai lalau ka Jamboi’, atau melafalkan ‘a’ menjadi ‘ea’ atau ‘oi’ misal : "bila" menjadi "bilea", "atas menjadi "atoih", "Tadi menjadi "tadoih".
Ada lebih dari 30 dialek bahasa yang berbeda di tiap-tiap desa di daerah Kerinci. Seperti pengucapan 'Anda', di Desa Lempur (Kec. Gunung Raya) diucapakan dengan 'Kaya' sedangkan di Kec. Sungai Penuh diucapakan dengan 'Kayo'. Perbedaan dialek ini juga ditandai dengan dengan perbedaan budaya yang ada di masing-masing desa di Kerinci.

Bahasa dan Budaya Kerinci

Kata Kerinci berasal dari bahasa Tamil Kurinji yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800m. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan pegunungan.
Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatra termasuk ras Mongoloid Selatan berbahasa Austronesia.
Berdasarkan bahasa dan adat-istiadat suku Kerinci termasuk dalam kategori Melayu, dan paling dekat dengan Minangkabau dan Melayu Jambi. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antar satu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi).
Suku Kerinci memiliki aksara yang disebut surat incung yang merupakan salah satu variasi surat ulu.
Sebagian penulis seperti Van Vollenhoven memasukkan Kerinci ke dalam wilayah adat (adatrechtskring) Sumatera Selatan, sedangkan yang lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau.
Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal.
Sebagaimana diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang ditemukan di Kerinci, pada abad ke-14 Kerinci menjadi bagian dari kerajaan Malayu dengan Dharmasraya sebagai ibu kota. Setelah Adityawarman menjadi maharaja maka ibu kota dipindahkan ke Saruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar

sumber:wikepidea indonesia

Sunday, January 11, 2009

KISAH HJ ABDULLAH HUKUM


Abdullah Hukum dari pedagang jadi pembesar

OlehMohdAzisNgah


ABDULLAH Hukum antara pembesar Melayu yang disegani di Kuala Lumpur.Sultan Selangor lantik Abdullah Ketua Masyarakat Kuala LumpurKAMPUNG Hj Abdullah Hukum, Jalan Haji Abdullah Hukum di Bangsar dan yang terbaru, Apartmen Haji Abdullah Hukum adalah antara tempat yang diambil sempena nama Haji Abdullah Hukum.Siapakah sebenarnya Haji Abdullah Hukum? Tentu ramai generasi muda yang tidak mengetahui nama tokoh besar ini dalam sejarah tanah air dan kaitannya dengan Kuala Lumpur dan Selangor.Nama sebenar Haji Abdullah Hukum ialah Muhammad Rukun. Beliau kemudian digelar mengikut adat sebagai Arya Jaya. Ketika menunaikan fardu Haji ke Makkah dan berada di Padang Arafah, beliau digelar sebagai Haji Abdullah Hukum.Nama itu terus kekal hingga ke akhir hayatnya dan digunakan sehingga sekarang. Tokoh besar ini dilahirkan pada 1835 dan meninggal dunia sekitar tahun 1930-an ketika berusia kira-kira 100 tahun.Ayahnya dikenali sebagai Sekancing yang bermakna 慿unci pintu? dan bergelar Tuk Pangku. Nama ayahnya kemudian ditukar kepada Haji Abdul Rahim, juga ketika berada di Padang Arafah, Makkah.


RUMAH asal Abdullah Hukum di Kampung Haji Abdullah Hukum.Haji Abdullah Hukum berketurunan suku kaum Kerinci dan berasal dari kariah Sungai Abu, jajahan Sungai Penoh di Kerinchi, Sumatera, Indonesia.Beliau datang berdagang bersama ayahnya ke Tanah Melayu pada 1850 ketika berumur 15 tahun. Mereka singgah di Melaka selama tiga malam dan menumpang di rumah Datuk Dagang Haji Said, bapa mentua kepada Tambi Abdullah yang juga seorang hartawan di Kuala Lumpur.Dari Melaka mereka belayar menuju ke Pengkalan Kempas dan dari situ Abdullah Hukum mengambil upah menggalas kain daripada seorang saudagar kain keturunan Kerinci, iaitu Haji Abdul Rahim untuk pergi ke Sungai Ujong.Mereka tinggal di situ selama lapan hari dan disebabkan tiada pekerjaan yang sesuai, mereka mengikut rombongan orang menggalas kain pergi ke Kuala Lumpur kerana di situ dikatakan banyak pekerjaan seperti bertanam sayur dan mendulang bijih timah.PAPAN tanda ke Kampung Haji Abdullah Hukum di Lembah Pantai.Abdullah Hukum menetap di Selangor selama lebih 85 tahun, iaitu sejak berumur 24 tahun di bawah kerajaan Melayu (1850-1874) dan 61 tahun di bawah pemerintahan kerajaan kolonial British (1874-1930-an).Menurut catatan riwayatnya, Abdullah Hukum tinggal lama di Tanah Melayu dan hidup di dua zaman yang berlainan iaitu lebih dua dekad di zaman 慿eris dan pemuras? di bawah pemerintahan kerajaan Melayu dan lebih enam dekad selanjutnya di bawah pemerintahan kolonial British.Ketika Abdullah Hukum tiba di Kuala Lumpur, beliau menumpang tinggal di rumah Haji Abdul Ghani, orang Air Bangis (Minangkabau) yang berniaga di satu lorong yang dikenali sebagai Java Street.Sungguhpun Kuala Lumpur menjadi semakin maju dan berkembang pesat selepas campur tangan British pada 1875, penduduk Melayu yang berjaya untuk berkongsi kemajuan awal Kuala Lumpur sejak 1850-an mula tersisih daripada arus pembangunannya.Ketika itu, Abdullah mendapat kebenaran membuka kebun di Bukit Nenas dan membuka kawasan perkampungan Sungai Putih, (sekarang Jalan Bangsar). Beliau akhirnya menetap di Sungai Putih, iaitu di kampung yang kini dikenali sebagai Kampung Haji Abdullah Hukum.Abdullah kemudian dilantik sebagai seorang daripada ketua masyarakat di Kuala Lumpur dengan gelaran Tuk Dagang Dianjuk. Apabila umurnya meningkat hampir 80 tahun (1912) beliau memohon bersara dari jawatan ketua itu dan mendapat pencen daripada kerajaan.Abdullah bersama Raja Bilah ialah pembesar bagi masyarakat Kuala Lumpur ketika itu bertugas mengutip hasil dagangan yang lalu lintas melalui Sungai Klang atau Sungai Gombak. Cukai timah ialah seringgit sebahara (tiga pikul).Beliau dikatakan terbabit secara langsung dalam pembangunan Kuala Lumpur, misalnya beliau adalah ketua yang membuka kawasan Pudu-Bukit Bintang dan membuka kebun di Bukit Nenas, selain kawasan Sungai Putih. Pada hari ini Sungai Putih dikenali sebagai Jalan Bangsar.Di sekitar kawasan Sungai Putih ada sebuah kampung Melayu dinamakan Kampung Haji Abdullah Hukum sempena nama beliau. Abdullah yang juga digelar Arya Jaya mengikut adat, pernah dilantik Sultan Selangor, Sultan Abdul Samad sebagai Ketua Masyarakat Kuala Lumpur dengan gelaran Tuk Dagang Dianjuk.Sejak Kuala Lumpur dibuka hingga 1890-an, Bukit Nenas adalah pusat kuasa bagi masyarakat Melayu kerana wakil Sultan menetap di situ. Jika terdapat sebarang keramaian tradisional seperti sempena pelantikan ketua atau pembesar masyarakat Melayu, ia akan diadakan di Bukit Nenas.Antaranya sempena pelantikan Tuk Alam Setapak, Tuk Bela Sungai Cantik, Imam Perang Muhammad Arif, Raja Utih dan Tuk Dagang Dianjak (Haji Abdullah Hukum sendiri), di mana satu keramaian diadakan selama tujuh hari tujuh malam menurut adat keramaian zaman dulu.Cucu Abdullah, Esah Hassan, 71, ketika ditemui Berita Minggu menjelaskan, arwah datuknya seorang yang sangat tegap, berbadan besar, tinggi dan berkulit cerah.揔etika umur saya 10 tahun, saya masih ingat atuk hanya duduk terbaring di rumah, dia sakit tua selama beberapa tahun. Emak saya cakap atuk menghidap penyakit bisul di tengkuk, katanya sakit orang kaya.揝aya pun tak ambil kisah sangat hal itu sebab masih kanak-kanak. Apa yang saya tahu dia memang sakit lama dan selepas beberapa tahun meninggal dunia di rumah emak saudara saya. Sekarang rumah itu saya tinggal bersama suami, Muhamad Amir Mahmud, 75,? katanya.Esah dan Muhamad Amir adalah sepupu dan kini masih tinggal bersebelahan rumah asal yang dibina Abdullah di Kampung Haji Abdullah Hukum. Rumah yang mempunyai 18 tiang itu dikatakan dibina sejak lebih 100 tahun lalu dan masih kukuh sehingga sekarang.Tangga batu rumah itu juga dibina berdasarkan ciri rumah orang Melaka, dipercayai mengikut cita rasa isterinya, Zainab Ismail yang berasal dari Melaka.Ketika kawasan perumahan di kampung itu dirobohkan untuk tujuan pembangunan, keluarga Abdullah merayu agar rumah tinggalan pengasas kampung itu dipelihara dan dikekalkan sebagai warisan sejarah yang boleh dikunjungi generasi akan datang.揔ami akur diarah berpindah atas nama kemajuan dan tak kisah jika rumah kami dirobohkan. Cuma kami minta kerajaan jangan robohkan rumah pusaka bersejarah ini untuk tatapan akan datang,? katanya.

SUMBANGAN ABDULLAH HUKUM

Sumbangan Abdullah Hukum semakin dilupai
Oleh Abdul Rahman Hashim
BAGAIMANA wajah Kuala Lumpur 100 tahun lalu? Siapa yang membuka, menghuni dan menyemarakkan kota itu pada akhir abad ke-19? Dalam hal ini, kita tidak boleh menyisihkan sumbangan besar Haji Abdullah Hukum, pedagang dari Kerinchi, Sumatera yang turut menyuntik pertumbuhan ekonomi Kuala Lumpur bermula 1850-an.Abdullah Hukum atau nama asalnya Abdullah Rukun, ketika itu berusia 15 tahun berkelana merentasi Selat Melaka ke Melaka sebelum ke Kuala Lumpur bersama sekumpulan rakannya dengan berjalan kaki tiga hari tiga malam. Banyak tempat yang disinggahi dan banyak pula pengalaman ditempuhinya. Setibanya di Kuala Lumpur, beliau menumpang di rumah Haji Abdul Ghani di Java Street.Ketika itu, Kuala Lumpur mempunyai dua lorong saja iaitu Java Street dan Market Street, manakala Ampang Street (kini Lebuh Ampang) dahulunya adalah tempat sekumpulan ceti beroperasi dan di situ juga ada sebuah kolam ikan milik Almarhum Sutan Puasa.Rumah kedai pada masa itu berbumbung atap bertam dan berdinding buluh, manakala peniaga di situ kebanyakannya menjual kain dan makanan, semuanya orang Melayu berketurunan Rawa dan Mendahiling. Sutan Puasa dan Raja Bilah adalah di antara ketua masyarakat berpengaruh ketika itu. Kedua-dua ketua ini mengutip hasil dagangan daripada peniaga yang melalui Sungai Klang dan Sungai Gombak. Cukai timah pada masa itu ialah seringgit sebahara (tiga pikul).Setapak (dulu Hulu Sungai Tapak) dan Air Panas (dulunya Hulu Gombak) adalah kawasan sawah padi milik Sutan Puasa. Beliau pernah mengambil upah membuat tali air selama tiga tahun di Serambut (Batu Lima Gombak sekarang). Ketika itu, Sutan Puasa adalah ketua yang disenangi penduduk tempatan kerana semua orang boleh mengerjakan sawahnya dengan kadar upahan sepuluh gantang padi daripada setiap seratus gantang.Abdullah Hukum juga pernah pergi menghadap Raja Laut (Putera Raja Muhamad) kerana ingin meminta sebidang tanah untuk dijadikan kampung baru. Raja Laut memberikan surat kebenaran untuk membuka tanah di Pudu dan menjadi ketua penduduk di situ. Ada ramai orang Kerinchi mengikutnya dan tinggal di Pudu (di kawasan Bukit Bintang sekarang).Di sana, Abdullah Hukum dan pengikutnya menjalankan aktiviti menanam sayur-sayuran, tebu, pisang, sirih dan bersawah padi. Abdullah Hukum menjadi Ketua Kampung di Pudu selama tujuh tahun. Dikatakan juga beliau pernah menjadi nakhoda yang mengambil upah membawa beras dengan perahu dari Klang ke Kuala Lumpur. Dia mendapat upah empat puluh ringgit untuk sekoyan guni beras.Selepas membuka kawasan Pudu, Abdullah Hukum mendapat surat kebenaran daripada Raja Mahmud (Putera Sultan Muhamad) untuk membuka kebun di Bukit Nanas. Beliau juga mendapat surat kebenaran daripada Maxwell dan Raja Laut membuka Sungai Putih (kawasan Jalan Bangsar sekarang).Ketika tinggal di Sungai Putih, Abdullah Hukum membuka Bukit Candi Putra (kini Bukit Putera) yang menempatkan Kompleks Angkasapuri dan Kampung Kerinchi). Abdullah Hukum diangkat menjadi Ketua Kampung di Sungai Putih dengan persetujuan Penghulu dan Datuk Dagang. Selepas dilantik secara rasmi sebagai Ketua Kampung dan Penghulu, Abdullah Hukum menghentikan perniagaan kerbau kerana beban tugas semakin bertambah.Ketika beliau menjadi Penghulu inilah Abdullah Hukum cuba menyatukan tiga kaum utama di situ ? Melayu, Cina dan India. Sebagai menghargai kejayaannya itu, dia menamakan jalan utama di situ sebagai 慗alan Bangsa? sempena penyatuan ketiga-tiga kaum. 態angsa? kemudian bertukar menjadi 態angsar?.Apabila meletus peperangan Selangor dan Pahang, Sultan Abdul Samad memanggil Abdullah Hukum untuk membantu melawan musuh baginda. Baginda melantik Abdullah Hukum yang juga Datuk Dagang sebagai panglima perang.Sebagai menghormati jasa dan bakti Datuk Dagang, Sultan Abdul Samad mengurniakan sebidang tanah seluas satu perempat ekar kepadanya. Tanah itu terletak berhampiran Sungai Klang, satu kawasan strategik dari segi pertanian dan perhubungan. Di samping itu, Datuk Dagang dikurniakan kuasa untuk menyelesaikan masalah di kalangan penduduk kampung dan kawasan sekitarnya.Datuk Dagang menjadikan kawasan itu sebagai perkampungan tetap untuk pengikutnya. Kampung itu dinamakan Kampung Haji Abdullah Hukum sempena nama beliau. Ketika Abdullah Hukum datang ke kampung itu, pada 1890-an, pekerjaan utama penduduk di situ ialah bersawah padi dan bercucuk tanam.Selepas kemangkatan Sultan Abdul Samad pada 1898, Abdullah Hukum menumpukan baktinya kepada putera baginda, Sultan Alauddin Sulaiman Shah. Abdullah Hukum pulang ke Sumatera pada 1929, selepas menjadi ketua kampung selama tujuh atau lapan tahun. Menurut cerita, beliau meninggal dunia pada usia 125 tahun.Haji Mahmud, seorang daripada enam anaknya mengambil tugas ketua kampung selepas bapanya mengundur diri. Cucunya, Kamaruddin Mahmud mewarisi pusaka kampung ini hingga sekarang, dan kesan peninggalan termasuklah sebuah rumah milik Abdullah Hukum masih ada di kampung Abdullah Hukum.Kini, Kampung Abdullah Hukum terletak di tengah bandar raya Kuala Lumpur sudah jauh berubah. Harga tanah dan rumah kediaman di situ melambung berpuluh kali ganda. Sudah tidak ada orang yang bersawah padi atau berkebun sayur di situ lagi. Sungai Klang yang menjadi terusan di Kampung Haji Abdullah Hukum sekarang bukanlah aliran sungai yang asal. Sungai ini dulunya melingkari bahagian Jalan Syed Putra yang kini menjadi tapak pusat beli-belah Mid Valley.Alangkah malang jika nama besar ini turut tersisih seperti pupusnya nama Taman Ghazali Shafie dan kampung Paya di Jalan Bangsar berdekatan Kampung Abdullah Hukum, selepas deretan kedai yang menempatkan peniaga Melayu di situ dirobohkan untuk projek pembesaran Jalan Bangsar sekitar 1987. Walaupun peniaga di Taman Ghazali Shafie itu dipindahkan ke Kompleks Bangunan Uda di Bangsar Utama, nama Taman Ghazali Shafie tidak lagi tertera di atas peta Kuala Lumpur.Kita tidak mahu nama Abdullah Hukum, seorang peneroka awal penempatan Kuala Lumpur tertindih dengan tumpuan terhadap Kapitan Yap Ah Loy sehingga nama Abdullah Hukum turut terpadam di dalam lipatan sejarah Kuala Lumpur.Demikian iltizam Abdullah Hukum yang menjadi ikon warisan sejarah Kuala Lumpur sejak penerokaannya dalam era 1850-an sehingga ke hari ini. Sejarah 50 tahun Malaysia merdeka tahun ini biarlah dirayakan tanpa meluputkan nama pejuang dan perintis bangsa yang banyak meninggalkan jasa, seperti Abdullah Hukum.

Fakta: Abdullah Hukum

# Mengambil upah membuat tali air di Segambut (Batu Lima di Setapak) bekerja dengan Sutan Puasa.
# Mendulang di Setapak.
# Petani dan kontraktor membina batas untuk Raja Bilah.
# Menjadi juak-juak (orang yang mengiringi Raja atau membawa alat kebesaran) kepada seorang pembesar Selangor, Raja Mahmud Tengku Panglima Raja .
# Memainkan peranan penting dan terbabit dalam beberapa peperangan di Selangor sehingga 1870-an.
# Peniaga kain di Semenyih.
# Membuka tanah dan perkampungan di Pudu dengan perkenan Raja Laut yang ketika itu menjadi Raja Muda Selangor. Beliau diangkat menjadi Penghulu Masjid di Pudu oleh Raja Laut.
# Menjadi nakhoda mengambil upah membawa beras dari Kelang ke Kuala Lumpur dengan perahu dan membeli kerbau dari Pahang dan Dungun di Terengganu untuk diniagakan di Kuala Lumpur.
SUMBER:syd..cari.forum.com.my

Kg Hj Abdullah Hukum&Kg Kerinchi-ditelan arus pembangunan








kg hj abdullah hukum







penulis:abd razak ismail

KUALA LUMPUR: Kampong Haji Abdullah Hukum merupakan salah sebuah penempatan awal orang-orang Melayu di Kuala Lumpur telah diruntuhkan pada awal November baru-baru ini bagi memberi laluan kepada apa yang kononnya dikatakan "pembangunan". Sumber-sumber mengatakan bahawa perkampongan Melayu 'tengah bandar' yang berusia 200 tahun yang terletak bertentangan dengan ibupejabat TNB di Jalan Bangsar tersebut, akan dibangunkan bagi pembinaan kondominium, blok-blok bangunan pejabat dan komplek membeli belah. Ada maklumat mengatakan sebuah hub transit LRT/ monorail / tren komuter juga akan dibina di kawasan tersebut.Kampong tersebut mengambil sempena nama Haji Abdullah Hukum (gambar), yang nama asalnya Muhammad Rukun, berasal dari Kerinchi, Sumatera, Indonesia dan datang ke Malaya pada usia 15 tahun bersama bapanya pada tahun 1800-an. Beliau telah diberi izin oleh Raja Laut pada masa itu merupakan Raja Muda Selangor untuk membuka tanah pertanian dan kampong-kampong baru di Bukit Nanas dan sebuah kampong di Sungai Putih (kemudiannya dinamakan Kg Hj Abdullah Hukum di Jalan Bangsar) seperti yang ada sekarang. Beliau menetap di kampong tersebut hingga menghembuskan nafas terakhir sekitar tahun 1930-an. Pada era Allahyarham Tun Razak menjadi Perdana Menteri sekitar 1960-an, kerajaan telah mengalakkan orang-orang Melayu luarbandar untuk berhijrah dan bekerja di bandar-bandar besar terutamanya di Kuala Lumpur. Lantaran itu ramailah rakyat luarbandar telah bermastautin ke kawasan-kawasan setinggan yang berselerak dipinggir-pinggir pusat bandar Kuala Lumpur ketika itu. Dari masa ke semasa ekoran dari pembangunan pesat bandaraya Kuala Lumpur kawasan-kawasan setinggan tadi akhirnya terletak ditengah-tengah kawasan 'urban' perbandaran, dan inilah yang terjadi ke atas Kampong Haji Abdullah Hukum, perkampongan Melayu Pantai Dalam, Kampung Kerinci dan kampong-kampong lain dipersekitarannya. Lebih 300 orang penduduk kampong telah dipindahkan oleh DBKL ke rumah-rumahpangsa miliknya di sekitar Kuala Lumpur. Mengikut kata Md. Zaman Md. Tasi Ketua Angkatan Muda Wilayah Persekutuan (juga bekas Ketua AMK Bahagian Lembah Pantai) bahawa ramai penduduk merasa kecewa kerana sebelum ini mereka telah 'dijanjikan' oleh beberapa orang wakil-wakil rakyat UMNO yang silih berganti sebelum ini untuk mendapati hakmilik lot-lot tanah di kampong tersebut. Sebaliknya apa yang terjadi ialah mereka 'tertipu' dan perkampongan tersebut di 'rampas' dari mereka dan kemudiannya diberikan kepada towkey-towkey komplek membeli-belah, pemaju-pemaju kondomium dan hartanah. Hari ini nama Haji Abdullah Hukum kekal dalam kenangan sebagai antara orang Melayu terawal yang terlibat dalam membangunkan Kuala Lumpur. Penempatan orang Melayu 'dalam bandar' yang diasaskannya 200 tahun lalu sudah lenyap. Yang kekal hanyalah papan tanda ' Abdullah Hukum' di stesen LRT untuk tatapan anak cucu masa mendatang

gambar ehsan,ciknah.blogspot..terima kasih



gambar bekas tanah setinggan kg kerinchi diambil dari ting.54 menara TM...ogos 2008